Sejarah Kerajaan Kediri
Kerajaan Kediri (Kerajaan Panjalu) adalah sebuah kerajaan dengan corak Hindu-Budha. Kerajaan yang berdiri pada tahun 1042 ini merupakan bagian dari kerajaan yang lebih besar, yaitu Kerajaan Mataram Kuno (Wangsa Isyana), dan pusat kerajaannya terletak di tepi sungai Brantas yang merupakan jalur pelayaran besar pada masa itu.
Pada tahun 1019, Airlangga berhasil naik menjadi raja Medang Kamulan. Saat
sedang memerintah, Airlangga berhasil mengembalikan kewibawaan Medang Kamulan
dan akhirnya memindahkan pusat pemerintahannya ke Kahuripan. Pada tahun 1041, Airlangga
memerintahkan kerajaan untuk dibagi menjadi dua bagian. Pembagian itu dilakukan
oleh Mpu Bharada, Brahmana yang terkenal sakti.
Dua kerajaan yang terbelah tadi lalu dikenal sebagai Jenggala (Kahuripan) dan Panjalu (Kediri) dan dipisahkan oleh gunung Kawi dan Sungai Brantas. Kejadian ini kemudian dikisahkan dalam prasasti Mahasukbya, serat Calon Arang, dan kitab Negarakertagama. Meskipun tujuan awal Airlangga memecah kerajaan menjadi dua adalah agar tidak ada perebutan kekuasaan, pada praktiknya kedua putra Airlangga tetap bersaing bahkan setelah mereka masing-masing diberi kerajaan sendiri.
Kerajaan Jenggala meliputi daerah Malang dan delta sungai Brantas dengan pelabuhannya Surabaya, Rembang, dan Pasuruhan, ibu kotanya Kahuripan, sedangkan Panjalu kemudian dikenal dengan nama Kediri meliputi Kediri, Madiun, dan ibu kotanya Daha. Berdasarkan prasasti-prasasti yang ditemukan masing-masing kerajaan saling merasa berhak atas seluruh tahta Airlangga sehingga terjadilah peperangan.
Pada akhir November 1042, Airlangga terpaksa membelah wilayah kerajaannya karena kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Putra yang bernama Sri Samarawijaya mendapatkan kerajaan barat bernama Panjalu yang berpusat di kota baru, yaitu Daha. Sedangkan putra yang bernama Mapanji Garasakan mendapatkan kerajaan timur bernama Janggala yang berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan. Panjalu dapat dikuasai Jenggala dan diabadikanlah nama Raja Mapanji Garasakan (1042 – 1052 M) dalam prasasti Malenga. Ia tetap memakai lambang Kerajaan Airlangga, yaitu Garuda Mukha.
Dua kerajaan yang terbelah tadi lalu dikenal sebagai Jenggala (Kahuripan) dan Panjalu (Kediri) dan dipisahkan oleh gunung Kawi dan Sungai Brantas. Kejadian ini kemudian dikisahkan dalam prasasti Mahasukbya, serat Calon Arang, dan kitab Negarakertagama. Meskipun tujuan awal Airlangga memecah kerajaan menjadi dua adalah agar tidak ada perebutan kekuasaan, pada praktiknya kedua putra Airlangga tetap bersaing bahkan setelah mereka masing-masing diberi kerajaan sendiri.
Kerajaan Jenggala meliputi daerah Malang dan delta sungai Brantas dengan pelabuhannya Surabaya, Rembang, dan Pasuruhan, ibu kotanya Kahuripan, sedangkan Panjalu kemudian dikenal dengan nama Kediri meliputi Kediri, Madiun, dan ibu kotanya Daha. Berdasarkan prasasti-prasasti yang ditemukan masing-masing kerajaan saling merasa berhak atas seluruh tahta Airlangga sehingga terjadilah peperangan.
Pada akhir November 1042, Airlangga terpaksa membelah wilayah kerajaannya karena kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Putra yang bernama Sri Samarawijaya mendapatkan kerajaan barat bernama Panjalu yang berpusat di kota baru, yaitu Daha. Sedangkan putra yang bernama Mapanji Garasakan mendapatkan kerajaan timur bernama Janggala yang berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan. Panjalu dapat dikuasai Jenggala dan diabadikanlah nama Raja Mapanji Garasakan (1042 – 1052 M) dalam prasasti Malenga. Ia tetap memakai lambang Kerajaan Airlangga, yaitu Garuda Mukha.
Mapanji Garasakan memerintah tidak lama. Ia digantikan Raja Mapanji Alanjung (1052 – 1059 M). Mapanji Alanjung kemudian
diganti lagi oleh Sri Maharaja Samarotsaha. Pertempuran yang terus
menerus antara Jenggala dan Panjalu menyebabkan selama 60 tahun tidak ada berita
yang jelas mengenai kedua kerajaan tersebut hingga munculnya nama Raja
Bameswara (1116 – 1135 M) dari Kediri. Pada masa itu ibu kota Panjalu telah
dipindahkan dari Daha ke Kediri sehingga kerajaan ini lebih dikenal dengan nama
Kerajaan Kediri.
Pada awalnya perang saudara tersebut, dimenangkan oleh Jenggala tetapi pada perkembangan selanjutnya Panjalu atau Kediri yang memenangkan peperangan dan menguasai seluruh tahta Airlangga.Selain ditemukannya prasasti-prasasti juga melalui kitab-kitab sastra dan yang banyak menjelaskan tentang kerajaan Kediri adalah hasil karya berupa kitab sastra. Hasil karya sastra tersebut adalah kitab Kakawin Bharatayudha yang ditulis Mpu Sedah dan Mpu Panuluh yang menceritakan tentang kemenangan Kediri atau Panjalu atas Jenggala, Kejadian ini kemudian dikisahkan dalam prasasti Mahasukbya, serat Calon Arang, dan kitab Negarakertagama. Meskipun tujuan awal Airlangga memecah kerajaan menjadi dua adalah agar tidak ada perebutan kekuasaan, pada praktiknya kedua putra Airlangga tetap bersaing bahkan setelah mereka masing-masing diberi kerajaan sendiri.
Pada awalnya perang saudara tersebut, dimenangkan oleh Jenggala tetapi pada perkembangan selanjutnya Panjalu atau Kediri yang memenangkan peperangan dan menguasai seluruh tahta Airlangga.Selain ditemukannya prasasti-prasasti juga melalui kitab-kitab sastra dan yang banyak menjelaskan tentang kerajaan Kediri adalah hasil karya berupa kitab sastra. Hasil karya sastra tersebut adalah kitab Kakawin Bharatayudha yang ditulis Mpu Sedah dan Mpu Panuluh yang menceritakan tentang kemenangan Kediri atau Panjalu atas Jenggala, Kejadian ini kemudian dikisahkan dalam prasasti Mahasukbya, serat Calon Arang, dan kitab Negarakertagama. Meskipun tujuan awal Airlangga memecah kerajaan menjadi dua adalah agar tidak ada perebutan kekuasaan, pada praktiknya kedua putra Airlangga tetap bersaing bahkan setelah mereka masing-masing diberi kerajaan sendiri.
Kerajaan Jenggala meliputi daerah Malang dan delta sungai Brantas dengan pelabuhannya Surabaya, Rembang, dan Pasuruhan, ibu kotanya Kahuripan, sedangkan Panjalu kemudian dikenal dengan nama Kediri meliputi Kediri, Madiun, dan ibu kotanya Daha. Berdasarkan prasasti-prasasti yang ditemukan masing-masing kerajaan saling merasa berhak atas seluruh tahta Airlangga sehingga terjadilah peperangan.
2. Raja-Raja Kerajaan Kediri
1. Raja Sri Jayawarsa
![]() |
ilustrasi lukisan Sri Jayawarsa |
2. Raja Bameswara (1117M)
Banyak meninggalkan Prasasti seperti yang ditemukan
didaerah Tulung Agung dan Kertosono. Prasasti seperti yang ditemukan itu lebih
banyak memuat masalah-masalah keagamaan sehigga sangat baik diketahui keadaan
pemerintahannya.
3. Raja Jayabaya (1135-1157M)
Kerajaan Kediri mengalami masa keemasan ketika diperintah oleh Prabu Jayabaya. Sukses gemilang Kerajaan kediri didukung oleh tampilnya cendekiawan terkemuka Empu Sedah, Panuluh, Darmaja, Triguna dan Manoguna. Mereka adalah jalma sulaksana, manusia paripurna yang telah memperoleh derajat oboring jagad raya. Di bawah kepemimpinan Prabu Jayabaya, Kerajaan kediri mencapai puncak peradaban terbukti dengan lahirnya kitab-kitab hukum dan kenegaraan sebagaimana terhimpun dalam kakawin Baratayuda, Gathutkacasraya, dan Hariwangsa yang hingga kini merupakan warisan ruhani bermutu tinggi
Prabu Jayabaya memerintah antara 1130 – 1157 M. Di samping sebagai raja besar. Raja Jayabaya juga terkenal sebagai ahli nujum atau ahli ramal. Ramalan-ramalannya dikumpulkan dalam sebuah kitab Jongko Joyoboyo.Dalam ramalannya, Raja Jayabaya menyebutkan beberapa hal seperti ratu adil yang akan datang memerintah Indonesia.
4. Raja Sri Saweswara (berdasarkan
prasasti Padelegan II (1159)
Sebagai raja yang taat beragama dan budaya, prabu
Sarwaswera memegang teguh prinsip tat wam asi yang artinya Dikaulah itu,
dikaulah (semua) itu, semua makhluk adalah engkau .Tujuan
hidup manusia menurut prabu Sarwaswera yang terakhir adalah moksa, yaitu
pemanunggalan jiwatma dengan paramatma. Jalan yang benar adalah sesuatu yang
menuju kearah kesatuan, segala sesuatu yang menghalangi kesatuan adalah tidak
benar.
5. Raja Sri Aryeswara (berdasarkan
prasasti Angin (1171)
Sri Aryeswara adalah raja Kadiri yang memerintah
sekitar tahun 1171. Nama gelar abhisekanya ialah Sri Maharaja Rake Hino Sri
Aryeswara Madhusudanawatara Arijamuka. Tidak diketahui dengan pasti kapan Sri
Aryeswara naik takhta. Peninggalan sejarahnya berupa prasasti Angin, 23 maret
1171. Lambang kerajaan Kadiri saat itu adalah Ganesha. Tidak diketahui pula
kapan ia pemerintahannya berakhir. Raja Kadiri selanjutnya berdasarkan prasasti
Jaring adalah Sri Gandra.
6. Raja Sri Gandra
Masa pemerintahan Raja Gandra (1181 M) dapat diketahui
dari Prasasti Jaring, yaitu tentang penggunaan nama hewan dalam kepangkatan
seperti nama gajah, kebo dan tikus. Nama-nama tersebut menunjukkan tinggi
rendahnya pangkat seseorang dalam istana.
7. Raja Sri Kameswara
Berdasarkan prasasti Ceker (1182) dan Kakawin Smaradahana pada masa pemerintahan Raja Kameswara (1182-1185 M), seni sastra mengalami perkembangan yang sangat pesat. Di antaranya Empu Dharmaja mengarang Smaradhana. Bahkan pada masa pernerintahannya juga dikenal cerita-cerita panji seperti cerita Panji Semirang.
Berdasarkan prasasti Ceker (1182) dan Kakawin Smaradahana pada masa pemerintahan Raja Kameswara (1182-1185 M), seni sastra mengalami perkembangan yang sangat pesat. Di antaranya Empu Dharmaja mengarang Smaradhana. Bahkan pada masa pernerintahannya juga dikenal cerita-cerita panji seperti cerita Panji Semirang.
8. Raja Sri Kertajaya (1190-1222 M)
Berdasarkan prasasti Galunggung (1194), Prasasti Kamulan (1194), prasasti Palah (1197), prasasti Wates Kulon (1205), Nagarakretagama, dan Pararaton) Merupakan raja terakhir dari Kerajaan Kediri. Raja Kertajaya juga dikenal dengan sebutan Dandang Gendis. Selama masa pemerintahannya, kestabilan kerajaan menurun. Hal ini disebabkan Raja Kertajaya mempunyai maksud mengurangi hak-hak kaum Brahmana. Keadaan ini ditentang oleh kaum Brahmana. Kedudukan kaum Brahmana di Kerajaan Kediri semakin tidak aman.
Berdasarkan prasasti Galunggung (1194), Prasasti Kamulan (1194), prasasti Palah (1197), prasasti Wates Kulon (1205), Nagarakretagama, dan Pararaton) Merupakan raja terakhir dari Kerajaan Kediri. Raja Kertajaya juga dikenal dengan sebutan Dandang Gendis. Selama masa pemerintahannya, kestabilan kerajaan menurun. Hal ini disebabkan Raja Kertajaya mempunyai maksud mengurangi hak-hak kaum Brahmana. Keadaan ini ditentang oleh kaum Brahmana. Kedudukan kaum Brahmana di Kerajaan Kediri semakin tidak aman.
Kaum Brahmana banyak yang lari dan minta bantuan ke Tumapel yang saat itu diperintah oleh Ken Arok. Mengetahui hal ini. Raja Kertajaya kemudian mempersiapkan pasukan untuk menyerang Tumapel. Sementara itu. Ken Arok dengan dukungan kaum Brahmana melakukan serangan ke Kerajaan Kediri. Kedua pasukan itu bertemu di dekat Ganter (1222 M). Dalam pertempuran itu pasukan dari Kediri berhasil dihancurkan. Raja Kertajaya berhasil meloloskan diri (namun nasibnya tidak diketahui secara pasti). Kekuasaan Kerajaan Kediri berakhir dan menjadi daerah bawahan Kerajaan Tumapel.
3. Kehidupan ekonomi
Kediri merupakan kerajaan agraris dan maritim. Masyarakat yang hidup di
daerah pedalaman bermata pencaharian sebagai petani. Hasil pertanian di daerah
pedalaman Kerajaan Kediri sangat melimpah karena didukung oleh kondisi tanah
yang subur. Hasil pertanian yang melimpah memberikan kemakmuran bagi rakyat
Masyarakat yang berada di daerah pesisir hidup dari perdagangan dan pelayaran. Pada masa itu perdagangan dan pelayaran berkembang pesat. Para pedagang Kediri sudah melakukan hubungan dagang dengan Maluku dan Sriwijaya.
Pada masa itu, mata uang yang terbuat dari emas dan campuran antara perak, timah, dan tembaga sudah digunakan. Hubungan antara daerah pedalaman dan daerah pesisir sudah berjalan cukup lancar. Sungai Brantas banyak digunakan untuk lalu lintas perdagangan antara daerah pedalaman dan daerah pesisir.
4. Kehidupan Sosial dan Budaya
Kondisi masyarakat Kediri sudah
teratur. Penduduknya sudah memakai kain sampai di bawah lutut, rambut diurai,
serta rumahnya bersih dan rapi. Dalam perkawinan, keluarga pengantin wanita
menerima maskawin berupa emas. Orang-orang yang sakit memohon kesembuhan kepada
dewa dan BuddhaMasyarakat yang berada di daerah pesisir hidup dari perdagangan dan pelayaran. Pada masa itu perdagangan dan pelayaran berkembang pesat. Para pedagang Kediri sudah melakukan hubungan dagang dengan Maluku dan Sriwijaya.
Pada masa itu, mata uang yang terbuat dari emas dan campuran antara perak, timah, dan tembaga sudah digunakan. Hubungan antara daerah pedalaman dan daerah pesisir sudah berjalan cukup lancar. Sungai Brantas banyak digunakan untuk lalu lintas perdagangan antara daerah pedalaman dan daerah pesisir.
4. Kehidupan Sosial dan Budaya
Perhatian raja terhadap rakyatnya sangat tinggi. Hal
itu dibuktikan pada kitab Lubdaka yang berisi tentang kehidupan sosial
masyarakat pada saat itu. Tinggi rendahnya martabat seseorang bukan berdasarkan
pangkat dan harta bendanya, tetapi berdasarkan moral dan tingkah lakunya. Raja
juga sangat menghargai dan menghormati hak-hak rakyatnya. Akibatnya, rakyat
dapat leluasa menjalankan aktivitas kehidupan sehari-hari.
Pada zaman Kediri karya sastra berkembang pesat.
Banyak karya sastra yang dihasilkan. Pada masa pemerintahan Jayabaya, raja
pernah memerintahkan kepada Empu Sedah untuk mengubah kitab Bharatayuda ke
dalam bahasa Jawa Kuno. Karena tidak selesai, pekerjaan itu dilanjutkan oleh
Empu Panuluh. Dalam kitab itu, nama Jayabaya disebut beberapa kali sebagai
sanjungan kepada rajanya. Kitab itu berangka tahun dalam bentuk candrasangkala,
sangakuda suddha candrama (1079 Saka atau 1157 M). Selain itu, Empu Panuluh
juga menulis kitab Gatutkacasraya dan Hariwangsa
Pada masa pemerintahan Kameswara juga ditulis karya sastra, antara lain
sebagai berikut:
- Kitab Wertasancaya, yang berisi petunjuk tentang cara membuat syair yang baik. ditulis oleh Empu Tan Akung.
- Kitab Smaradhahana, berupa kakawin yang digubah oleh Empu Dharmaja. Kitab itu berisi pujian kepada raja sebagai seorang titisan Dewa Kama. Kitab itu juga menyebutkan bahwa nama ibu kota kerajaannya adalah Dahana.
- Kitab Lubdaka, ditulis oleh Empu Tan Akung. Kitab itu berisi kisah Lubdaka sebagai seorang pemburu yang mestinya masuk neraka. Karena pemujaannya yang istimewa, ia ditolong dewa dan rohnya diangkat ke surga.
Selain karya
sastra tersebut, masih ada karya sastra lain yang ditulis pada zaman Kediri,
antara lain sebagai berikut.
- Kitab Kresnayana karangan Empu Triguna yang berisi riwayat Kresna sebagai anak nakal, tetapi dikasihi setiap orang karena suka menolong dan sakti. Kresna akhirnya menikah dengan Dewi Rukmini.
- Kitab Samanasantaka karangan Empu Managuna yang mengisahkan Bidadari Harini yang terkena kutuk Begawan Trenawindu.
Adakalanya cerita itu dijumpai dalam bentuk relief pada suatu candi.
Misalnya, cerita Kresnayana dijumpai pada relief Candi Jago bersama relief
Parthayajna dan Kunjarakarna.
5. Kehidupan Politik
Keadaan politik pemerintahan dan keadaan masyarakat di Kediri ini dicatat dalam berita dari Cina, yaitu dalam kitab Ling-Wai-tai-ta yang ditulis oleh Chou K’u-fei pada tahun 1178 dan pada kitab Chu-fan-chi yang disusun oleh Chaujukua pada tahun 1225. Kitab itu melukiskan keadaan pemerintahan dan masyarakat zaman Kediri. Kitab itu menggambarkan masa pemerintahan Kediri termasuk stabil dan pergantian takhta berjalan lancar tanpa menimbulkan perang saudara. Di dalam menjalankan pemerintahannya, raja dibantu oleh tiga orang putranya dan empat pejabat kerajaan (rakryan), ditambah 300 pejabat sipil (administrasi) dan 1.000 pegawai rendahan. Prajuritnya berjumlah 30.000 orang dengan mendapat gaji dari kerajaan. Raja berpakaian sutra, memakai sepatu kulit, perhiasan emas, dan rambutnya disanggul ke atas. Jika bepergian, raja naik gajah atau kereta dengan dikawal oleh 500–700 prajurit. Pemerintah sangat memperhatikan keadaan pertanian, peternakan, dan perdagangan. Pencuri dan perampok jika tertangkap dihukum mati.
6. Masa Kejayaan Kerajaan Kediri
Kerajaan Kediri mencapai puncak kejayaan ketika masa pemerintahan Raja Jayabaya. Daerah kekuasaannya semakin meluas yang berawal dari Jawa Tengah meluas hingga hampir ke seluruh daerah Pulau Jawa. Selain itu, pengaruh Kerajaan Kediri juga sampai masuk ke Pulau Sumatera yang dikuasai Kerajaan Sriwijaya. Kejayaan pada saat itu semakin kuat ketika terdapat catatan dari kronik Cina yang bernama Chou Ku-fei pada tahun 1178 M berisi tentang Negeri paling kaya di masa kerajaan Kediri pimpinan Raja Sri Jayabaya. Bukan hanya daerah kekuasaannya saja yang besar, melainkan seni sastra yang ada di Kediri cukup mendapat perhatian. Dengan demikian, Kerajaan Kediri semakin disegani pada masa itu.
7. Runtuhnya Kerajaan Kediri
Runtuhnya kerajaan Kediri dikarenakan pada masa pemerintahan Kertajaya , terjadi pertentangan dengan kaum Brahmana. Mereka menggangap Kertajaya telah melanggar agama dan memaksa meyembahnya sebagai dewa. Kemudian kaum Brahmana meminta perlindungan Ken Arok, akuwu Tumapel. Perseteruan memuncak menjadi pertempuran di desa Ganter, pada tahun 1222 M. Dalam pertempuarn itu Ken Arok dapat mengalahkan Kertajaya, pada masa itu menandai berakhirnya kerajaan Kediri.
Setelah berhasil mengalah kan Kertanegara, Kerajaan Kediri bangkit kembali di bawah pemerintahan Jayakatwang. Salah seorang pemimpin pasukan Singasari, Raden Wijaya, berhasil meloloskan diri ke Madura. Karena perilakunya yang baik, Jayakatwang memperbolehkan Raden Wijaya untuk membuka Hutan Tarik sebagai daerah tempat tinggalnya. Pada tahun 1293, datang tentara Mongol yang dikirim oleh Kaisar Kubilai Khan untuk membalas dendam terhadap Kertanegara. Keadaan ini dimanfaatkan Raden Wijaya untuk menyerang Jayakatwang. Ia bekerjasama dengan tentara Mongol dan pasukan Madura di bawah pimpinan Arya Wiraraja untuk menggempur Kediri. Dalam perang tersebut pasukan Jayakatwang mudah dikalahkan. Setelah itu tidak ada lagi berita tentang Kerajaan Kediri.
8.Peninggalan Kerajaan Kediri
1. Candi Penataran

Candi ditemukan di Desa Gayam, Kec. Gurah, Kediri-Jawa
Timur pada tahun 2007. Berdasarkan gaya dan bentuk arca yang ditemukan di
sekitar candi, diketahui bahwa candi ini dibangun pada abad ke 9, tepat pada
masa awal perpindahan pusat politik dari Jawa Tengah ke Jawa Timur.
3. Candi Gurah
Candi ini ditemukan di Kec. Gurah, Kediri Jawa Timur.
Candi peninggalan Kediri selanjutnya ditemukan di Kecamatan Kediri, Jawa Timur
pada tahun 1957. Letak candi Gurah berada persis 2 km dari situs candi
Tondowongso. Dari pondasinya, diketahui bahwa candi ini berukuran 9 meter x 9 meter.
4. Candi Mirigambar
Candi Mirigambar adalah candi peninggalan Kerajaan
Kediri yang ditemukan di lapangan desa Mirigambar, Kec. Sumbergempol,
Tulungagung – Jawa Timur. Candi ini diperkirakan dibangun pada tahun 1214 –
1310 Saka. Seorang petinggi desa Mirigambar pada 1965 melindungi candi ini dari
aksi ikonoklastik. Aksi Ikonklastik adalah aksi penghancuran ikon-ikon
budaya yang dianggap sebagai berhala
5. Candi Tuban

6. Prasasti Kamulan
Prasasti
Kamulan ditemukan di Desa Kamulan, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur. Prasasti
ini dibuat pada tahun 1116 Saka (1194 M) tepat pada masa kepemimpinan Raja
Kertajaya. Isi prasasti ini adalah keterangan berdirinya Kabupaten Trenggalek,
yakni pada Rabu Kliwon, tanggal 31 Agustus 1194.
7. Prasasti Galunggung
Prasasti Galunggung ditemukan di Rejotangan, Tulung
Agung. Prasasti yang memiliki dimensi 160x80x75 cm ini bertuliskan huruf Jawa
Kuno dengan total 20 baris, kendati begitu aksara yang terpahat dalam prasasti
ini sudah sangat sulit dibaca. Hanya bagian tahunnya saja yang masih dapat
diketahui, yaitu bertuliskan tahun 1123 Saka.
Prasasti Jaring
adalah prasasti yang dibuat pada tanggal 19 November 1181. Isi dari prasasti
ini adalah keterangan tentang pengabulan keinginan penduduk dukuh Jaring
melalui senapatinya, Sarwajala. Keinginan tersebut berupa suatu harapan yang
belum diwujudkan raja sebelumnya. Dalam prasasti Jaring, diketahui bahwa para
pejabat kediri memilki gelar atau sebutan menggunakan nama hewan, seperti Lembu
Agra, Menjangan Puguh, dan Macan Kuning.
Prasasti
Panumbang adalah prasasti peninggalan kerajaan Kediri yang dibuat oleh 2
Agustus 1120. Prasasti ini dikeluarkan oleh Maharaja Bameswara. Isinya adalah
berupa penetapan desa Panumbang menjadi sima swatantra (desa bebas pajak).
Prasasti Talan ditemukan di Desa Gurit, Blitar
– Jawa Timur. Dibuat pada tahun 1058 Saka (1136 Masehi), berisi
tentang penetapan masuknya Desa Talan ke dalam wilayah Panumbang yang bebas
pajak. Prasasti ini dilengkapi dengan pahatan Garudhamukalanca, pahatan
berbentuk tubuh manusia bersayap dengan kepala Garuda.
Kitab
Kakawin Bharatayudha dikarang oleh Empu Sedah dan Empu Panuluh. Isinya
menceritakan kisah perjuangan raja Jenggala, Jayabaya yang berhasil menaklukkan
Panjalu. Kisah perjuangan raja Jayabaya ini dianalogikan dengan kisah
peperangan antara Kurawa dan Pandawa dalam kisah Mahabrata.
Kitab Kresnayana dikarang oleh Empu Triguna. Isinya
menceritakan riwayat hidup Kresna, seorang anak yang memiliki kekuatan sangat
luar biasa dan namun suka menolong orang lain. Kresna sangat disukai
orang-orang diceritakan secara runut hingga ia menikah dengan Dewi Rukmin.
Kitab Sumarasantaka dikarang oleh Empu Monaguna. Isinya menceritakan kisah kutukan Harini, seorang bidadari khayangan yang telah melakukan kesalahan. Harini dikutuk menjadi manusia. Ia tinggal di bumi untuk beberapa lama hingga masa kutukannya selesai.
Kitab
Gatotkacasraya dikarang oleh Empu Panuluh. Isinya menceritakan kisah
kepahlawanan Gatotkaca yang berhasil mempersatukan putra Arjuna, yakni Abimayu
dengan Siti Sundhari.
Kitab smaradhana dikarang oleh Empu Dharmaja. Isinya
menceritakan kisah Dewa Kama dan Dewi Ratih, sepasang suami istri yang hilang
secara misterius karena terkena api yang keluar dari mata ketiga Dewa Syiwa.
![]() |
X KPR |
![]() |
tim penulis |
kelompok Kerajaan Kediri
- Devilia Widya Utami
- Kharisma Devi
- Nada Ajeng Suci
- Rara Aulia Safira
- Restin Dwi puji
- Rega Wahyu
- Salma Nuraini
- Widya Ayu Ramadani
- Indah Rahmawati
Komentar
Posting Komentar